"Ceuk dina undang-undang..."
"Masih keneh mikiran undang-undang, Mang?"
"Ih, tangtu bae kudu dipikiran, Lo. Lantaran tanpa undang-undang mah nagara jeung kahirupan nagara bakal kamana karep."
"Naon cenah ceuk undang-udang teh, Mang?
"Mun teu salah, di antarana warga miskin ditangtayuan ku nagara. Hartina nagara teu menang ngantep atawa ngapilainkeun warga miskin."
"Yaktos."
"Kaasup dina palayanan kasehatan, Lo."
"Enya, Mang. Warga miskin oge boga hak pikeun uubar sarta dirawat di rumah sakit."
"Perkara rumah sakit tea, Lo."
"Jaman baheula mah rea warga miskin anu teu ditarima ku rumah sakit alatan teu boga biaya keur uubar, pangpangna pikeun warga miskin anu kasakitna parna tur kudu di opnameu atawa dioprasi."
"Emh."
"Tapi kadieukeun mah pasen ti warga miskin rada bisa ngarenghap sabada aya sababaraha program nu diancokeun pikeun warga miskin, diantarana mun teu salah mah aya askesgakin, jampersal sarta nu bisa oge ka rumah sakit bari mawa surat katerangan tidah mampuh, SKM tea, Lo. Tur kiwari nu pang anyarna aya BPJS Kasehatan."
"Alhamdulillah."
"Papadaning kitu, ceuk dina warta ti media massa mah masih keneh rea warga miskin ani ditolak ku rumah sakit, pangpangna sabada diterapkeunana BPJS."
"Ambuing."
"Malah cenah di Sumatera mah nepi ka aya pasen msikin anu dipiceun ku pagawe rumah sakit."
"Gusti nepi kakituna."
"Tetela mgamanusakeun warga miskin teh di urang mah hese pisan."
"Padahal cenah urang teh bangsa anu beradab, Mang."
"Lian ti pasualan kasehatan, dina pasualan sejenna oge warga miskin teh remen dikekesek."
"Bener, Mang."
"Di urang mah aya kesan warga miskin teh diperhatikeun ukur dina mangsa pamilu wungkul."
"Eksistensi warga miskin ukur dijadikeun konsumpi pulitik wungkul nya, Mang. kapan kiwari ge saban iklan ti tokoh nu hayang jadi pamingpin mah kabeh midangkeun pasualan kahirupan masarakat miskin."
"Enya. kitu ceuk parasaan warga miskin mah, Lo."
"Lamun maranehna geus jeneng sok tuluy dipopohokeun."
"Bener, Lo. Komo lamun geus waktuna kudu naekkeun BBM mah."
"Matak ulah daek jadi warga miskin, Mang."
"Jih, saha atuh jalama anu hayang miskin. da sarerea ge kahayang mah jadi jalma beunghar.
"Heuheuy."
"Tapi urang pada-pada ngadoa weh, Lo."
"Ngadu'a kumaha, Mang?"
"Muga-muga pamingp[in nu engke kapilih dina pamilu taun ayeuna mah sing gede kanyaahna ka masarakat miskin."
"Amin."
Diambil dari majalah Mangle, Edisi 2463 | 13-19 Februauri 2014. halaman 56
Chokyulate
Kamis, 20 Februari 2014
Sabtu, 08 Februari 2014
Short Story: Ajari aku bahasa isyaratmu
Di sebuah desa kecil hiduplah keluarga
yang
sederhana
yang serba kekurangan. Mereka mempertaruhkan hidupnya dari sebidang tanah yang
mereka tanami ubi. Dion, Dodi, Dio serta ayahnya merasa bersyukur karena masih
ada orang yang berbaik hati memberikan sebidang tanahnya untuk mereka garap,
dan hasilnya lumayan. Ubi yang mereka tanam ternyata meghasilkan ubi yang
berkulitas tinggi dan rasanyapun manis-manis. Sehingga hasil menjual ubi bisa
menutupi kebutuhan mereka sehari-hari. Dion, Dodi dan Dio selalu kompak dan
rukun. Mereka saling menjaga satu sama lain. Adik bungsu mereka, Dio, dia tidak
bisa -- oh bukan dia tidak mau bicara sememjak ibunya meninggal. Karena Dio
adalah satu-satunya anak sangat dekat dengan ibunya. Ketika ibunya meninggal, Dio
sedang berada bersamanya, di kebun ubi mereka. Ibunya meninggal karena serangan
jantung. Dio yang waktu itu sedang membersihkan daun-daun ubi yang mongering
diladang mereka, melihat ibunya yang sedang meregang nyawa tidak kuasa menahan
tangis, ia ingin berteriak dan berlari memangil kakak-kakaknya yang kebetulan
sedang pergi menjajakan ubinya ke pasar. Dio terpaku dan hanya bisa memegang
dada ibunya dengan tangisan.
***
"Yasmin!!! Kenapa kau selalu seperti ini, pulang larut malam dan mabuk-mabukan, Ayah memfasilitasimu bukan untuk ini." Yasmin tidak menghiraukan perkataan ayahnya, dia hanya melambaikan tanganya dan masuk kekamarnya. Kepalanya sangat pusing. Dia langsung merebahkan diri dikasurnya yang empuk. Sementara itu, ayahnya hanya bisa terdiam dan menahan amarah. Dia sudah kehabisan cara untuk mendidik anak sematawayangnya itu. Memang dulu ia terlalu memanjakam Yasmin, jadi akibatnya seperti ini. Ayah Yasmin adalah pemilik perusahaan daging sapi terkenal di Bandung. Yasmin sudah terbiasa dengan kehidupan mewahnya. Sekarang ayahnya sangat menyesal karena terlalu memanjakan dia. Ayahnya ingin sekali melihat putrinya menjadi seorang gadis dewasa tanpa harus berpora-pora. Ayahnya berpikir untuk mengirimnya ke suatu tempat yang jauh dari kota, untuk membiasakannya jauh dari segala kemewahan dan gemerlapnya kota besar.
***
"Yasmin!!! Kenapa kau selalu seperti ini, pulang larut malam dan mabuk-mabukan, Ayah memfasilitasimu bukan untuk ini." Yasmin tidak menghiraukan perkataan ayahnya, dia hanya melambaikan tanganya dan masuk kekamarnya. Kepalanya sangat pusing. Dia langsung merebahkan diri dikasurnya yang empuk. Sementara itu, ayahnya hanya bisa terdiam dan menahan amarah. Dia sudah kehabisan cara untuk mendidik anak sematawayangnya itu. Memang dulu ia terlalu memanjakam Yasmin, jadi akibatnya seperti ini. Ayah Yasmin adalah pemilik perusahaan daging sapi terkenal di Bandung. Yasmin sudah terbiasa dengan kehidupan mewahnya. Sekarang ayahnya sangat menyesal karena terlalu memanjakan dia. Ayahnya ingin sekali melihat putrinya menjadi seorang gadis dewasa tanpa harus berpora-pora. Ayahnya berpikir untuk mengirimnya ke suatu tempat yang jauh dari kota, untuk membiasakannya jauh dari segala kemewahan dan gemerlapnya kota besar.
Pada
suatu malam, ketika Yasmin sedang terlelap tidur, ayahnya membawanya kesuatu
desa yagg belum pernah dia kunjungi sebelumnya. Yasmin tidak pernah tahu bahwa
dirinya akan d buang untuk sementara waktu agar dirinya mengerti tentang
kehidupan sesungguhnya.
***
Hari ini begitu cerah. Dodi dan Dio pergi sekolah bersama-sama menggunakan sepeda, tapi sepedanya hanya ada 1, sehingga Dodi harus rela memboncengi adiknya, Dio, karena sekolahnya cukup jauh dari rumahnya. Sebelum pergi sekolah Dio biasanya selalu memeriksa kebun ubinya dulu. Karena belakangan ini banyak sekali tikus perusak tanaman yang membuat hasil kebun mereka berkurang banyak, Dio memasang jebakan tikus di kebun untuk mengurangi kerugian tersebut. Ketika sedang berjalan Dio tersandung sesuatu hingga terjatuh, ia meringis dan membersihkan baju seragamnya yang kotor. Dio pun tersentak tanpa berteriak hanya nafasnya tidak bisa dia atur. Dia sangat terkejut, ternyata yang membuat dia tersandung adalah sepasang kaki manusia. Dengan waspada Dio mendekati orang tersebut. Orang itu adalah seorang gadis yang sedang terlelap sambil memeluk gulingnya. Dio sangat penasaran mengapa gadis ini bisa tidur dikebunya. Perlahan lahan dia mendekatkan diri dan jongkok disamping gadis tersebut untuk memastikan apa dia masih hidup atau sudah meninggal. Dirasakanya nafas yang keluar dari hidung sang gadis yang menghembus telunjuk Dio. Dio menghela nafas lega. Ternyata gadis yang berada dihadapanya tersebut masih hidup. Tanpa ragu-ragu Dio mengguncang-guncang tubuh gadis itu agar ia terjaga dari tidurnya.
***
Hari ini begitu cerah. Dodi dan Dio pergi sekolah bersama-sama menggunakan sepeda, tapi sepedanya hanya ada 1, sehingga Dodi harus rela memboncengi adiknya, Dio, karena sekolahnya cukup jauh dari rumahnya. Sebelum pergi sekolah Dio biasanya selalu memeriksa kebun ubinya dulu. Karena belakangan ini banyak sekali tikus perusak tanaman yang membuat hasil kebun mereka berkurang banyak, Dio memasang jebakan tikus di kebun untuk mengurangi kerugian tersebut. Ketika sedang berjalan Dio tersandung sesuatu hingga terjatuh, ia meringis dan membersihkan baju seragamnya yang kotor. Dio pun tersentak tanpa berteriak hanya nafasnya tidak bisa dia atur. Dia sangat terkejut, ternyata yang membuat dia tersandung adalah sepasang kaki manusia. Dengan waspada Dio mendekati orang tersebut. Orang itu adalah seorang gadis yang sedang terlelap sambil memeluk gulingnya. Dio sangat penasaran mengapa gadis ini bisa tidur dikebunya. Perlahan lahan dia mendekatkan diri dan jongkok disamping gadis tersebut untuk memastikan apa dia masih hidup atau sudah meninggal. Dirasakanya nafas yang keluar dari hidung sang gadis yang menghembus telunjuk Dio. Dio menghela nafas lega. Ternyata gadis yang berada dihadapanya tersebut masih hidup. Tanpa ragu-ragu Dio mengguncang-guncang tubuh gadis itu agar ia terjaga dari tidurnya.
"Em..?"
gadis itu pelan-pelan membuka matanya yang lengket. Ketika matanya terbuka
seutuhnya ia pun terkejut. "AAAHH...SIAPA KAU?" Dio yang tadinya
jongkok langsung berdiri dan kaget. Sama kagetnya dengan sang gadis. Gadis itu
melihat sekelilingnya "Em.. Siapa kau? Dimana aku? Apa yang kau lakukan
padaku, hah?" tanya sang gadis bertubi-tubi. Dia masih sangat kebingungan.
Dio tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan pergi. "Hei...jawab aku! Kau
mau kemana?" Dio tidak menghiraukan perkataan gadis tersebut.
***
***
Gadis
itu masih saja mengikuti Dio dari belakang, dengan gulingnya yang dia dekap
didadanya. Dia berusaha mensejajarkan langkahya dengan Dio. Berkali-kali
dipanggilnya Dio. “Hei, aku mohon jawablah aku sekali saja, kenapa aku bisa
disini? sebenarnya ini dimana? kumohon.. jawablah aku.. HEI!” Yasmin mulai
kesal. Tiba-tiba Dio menghentikan langkahnya. Dan membalikan badannya
kebelakang, tepat dihadapan gadis itu. Yasminpun terkejut dengan gerakan yang
tiba-tiba dari Dio. Tapi kemudian tidak ada yang Dio dilakukan, dia haya mematung
dengan wajah yang datar. Semenit kemudian dia memutarkan badanya lagi dan
kembali berjalan.
Melihat
kelakukan Dio yang seperti itu, Yasminpun mengernyitkan dahi “Dasar orang aneh,
apa-apan sikapnya itu, sok misterius.” Gumamnya dalam hati. Sedikit agak
berlari dia mengejar langkah Dio yang mulai agak menjauh. Ditepunknya bahu Dio
sehingga dia berhenti. “Kalau kau masih tidak bicara. Berikan aku handphonemu,
aku mau pinjam untuk menghubungi ayahku.” Kata gadis itu sambil menengadahkan
tangan kearah Dio. Tapi kemudian Dio menggeleng. “Apa maksudmu dengan
menggeleng? Kau tidak punya handphone? Astga, di zaman serba modern seperti ini
kau tidak memiliki handphone? Kau bener-benar aneh.”
Tanpa
mengacuhkan ucapan gadis itu dia mengisyaratkan “ikut aku” dengan gesture
tubuhnya. “Kau ini benar-benra bisu? Ya Tuhan.”
Dio
tetap tidak bergeming, dia melangkahkan kakinya kearah toko kelenteng. Setelah
berbicara dengan pemilik toko, tentunya dengan bahasa isyarat, dia keluar dan
menghampiri Yasmin. Pemilik toko kelenteng ini adalah satu-satunya orang yang
memiliki telepon di desa ini. Pemilik toko ini sangant kenal baik dengan Dio.
Sehingga Dio diperbolehkan untuk meminjamkannya kepada Yasmin. Dio mengeluarkan
secerik kertas dan menuliskan sesuatu diatasnya. Setelah selesai diberiya
kertas tersebut kepada Yasmin untuk dibacanya, yang isisnya.
Kau bisa panggila aku Dio, di dalam
ada telepon rumah, kau bisa memakainya untuk menghubungi keluargamu. Maaf aku
tidak bisa membantu lebih. Sudah waktunya aku pergi sekolah. Aku harap
urusananmu bisa segera selesai. Aku pergi.
Tanpa
menunggu lagi Dio langsung pergi, meninggalkan Yasmin yang masih membaca.
Setelah beberapa langkah, terdengar teriakann Yasmin dari jauh “Terima kasih,
Dio.” Teriaknya membuat Dio membalikan badan dan tersenyum kepada Yasmin
sebagai ungkapan “tidak usah sungkan.”
Dalam
hati Yasmin dia merasa sedikit bersalah kepada Dio, karena telah beberapa kali
menghardiknya. Setelah Dio mengilang dari pandangannya, barulah dia memasuki
toko tersebut, siempunya rumah sudah mempersilahkan Yasmin untuk menggunakan
teleponya.
Setelah
dicoba beberapa kali, teleponnya masih belum tersambung. Dicobanya kembali
menekan angka-angka memastikan nomor yang ia tekan tidak salah. Tapi tetap saja
tidak tesambung. Yasmin sudah mulai putus asa.
Akhirnya
dia menyerah, teleponnya masih tidak tersambung. Setelah berterimakasih kepada
sang pemilik toko dia duduk bertopang dagu masih dengan guling di tangan.
Beberapa
kali dia memikirkan, bagaimana bisa dia sampai ditempat ini, dia tidak mungkin
lupa jalan pulang waktu dia mabuk kemarin malam. Apakah mungkin ayahnya sendiri
yang melakukan ini? Pikiran itu terus memenuhi kepala Yasmin. Dia tidak bisa
melakukan apaun disini. tidak ada seorangpun yang dia kenal. Tapi tunggu, dia
kenal sesorang disini. Ya, Dio. Mungkin saja Dio bisa membantunya keluar dari
desa ini.
***
Ini
sudah waktunya Dio pulang sekolah. Dodi yang dari tadi pagi mencari-cari Dio akhirnya bisa menemukannya
juga. Dodi meghampiri Dio yang dari tadi duduk terdiam didekat gerbang sekolahnya.
“Dio, kemana saja kau dari tadi, aku mencarimu” kata kakaknya khawatir. Dio
hanya tertunduk lalu mengajak kakanya untuk pulang.
Di sepanjang perjalanan
pulang, tidak tahu kenapa dia terus memikirkan gadis yang ditemuinya tadi pagi.
Dia baru sadar bahwa Dio belum tahu nama gadis tadi.
“Lihat gadis itu Dio,
lucu sekali dia. Jam segini masih memegang guling, seperti anak manja saja.”
Perkataan Dodi membuat Dio langsung mencari orang yang dimasud. Dio meminta
kakanya untuk menghentikan laju sepedanya.
“Kenapa Dio? Apa kau
menegnal gadis itu?”
“Iya, tadi pagi aku
menemukannya tengah tertidur di ladang ubi kita, dan aku yang membawanya ke
toko ini. Maksudku agar dia dapat meghubungi orangtuanya. Tapi ternyata dia
masih disini.” kata dia menggunakan bahasa isyarat kepada kakaknya.
“mungkin saja dia
sedang menunggu orang tuanya disisni. Bagaimana kalau kita hampiri dia saja,
siapa tau dia masih memerlukan bantuan kita.
Kedua kakak beradik ini
mengarahkan laju sepeda mereka kearah dimana gadis itu terduduk. Gadis itu
tidak meyadari akan kedatangan Dodi da Dio.
“Hei, nona apa yang…”
belum selesai pertanyaan Dodi tiba-tiba saja terpotong oleh tangisan Yasmin
yang meraung raung, makin lama makin kencang saja tangisnya.
***
Setelah tenang, yasmin
menceritakan kebingungnanya tentang bagaimana dia mencapai tempat ini kepada
Dion, Dodi dan Dio di rumah mereka yang kecil. Ternyata tempat ini sangat jauh
dari Bandung, tempat Yasmin tinggal. Desa ini sangat terpencil, jarang sekali
kendaraan kota masuk desa ini. Sesekali ada mobil bak yang datang kesini,
itupun hanya datang seminggu sekali untuk mengantarkan hasil bumi dari desa ini
ke kota. Setelah berbincang-bincang akhirnya mereka memutuskan untuk
mengizinkan Yasmin bermalam di rumah mereka. Selama ayahnya belum pulang dari
kota.
“Untuk sementara kau
bisa gunakan kamarku dulu untuk tidur, biar aku tidur di kursi saja” kata Dion
berbaik hati.
“Terima kasih banyak,
tapi aku tidak bisa tidur ditempat seperti ini” dia menunjuk kerah kasur yang
sudah usang dan tipis. Alasnya sudah hilang warna aslinya, maklum setelah
ibunya meninggal tidak ada lagi yang rajin mengganti alas kasur.
“maaf, kami hanya
mempunyai ini saja. Tidak ada kasur lain selain kasur ini. Jadi kami harap kau
bisa maklum.”
“Baiklah aku usahakan,
tapi bagaimana dengan bajuku? Sudah seharian aku memakai baju ini, aku tidak
tahan pakai baju kotor lama-lama. Apakah disekitar sini ada toko baju? Pinjami
aku uang, aku pasti akan menggatinya”
Dio yang terdiam dari
tadi merasa kesal, dengan bahasa isyaratnya dia berkata. “disini bukan dikota
nona, tidak ada mall disini. Kalau kau mau, pakai saja baju peninggalan
mendiang ibu kami. Mungkin ukurannya tidak begitu besar.”
“Apa yang dia
katakana?” Tanya Yasmin tidak mengerti. Kemudian Dion menjelaskannya. Setelah
dibawakan beberapa helai baju ibu mereka, Yasmin disuruh menjoba baju-baju itu.
Ternyata bajunya pas juga dengan badan Yasmin. Melihat Yasmin mengenkan baju
ibunya, Dio teringat kembali akan ibunya. Dia sudah akan menagis, tapi cepat-cepat
dia hapus air mata yang mengenangi sudat matanya dan pergi keluar.
Malam ini langit di
penuhi bintang, sepertinya hujan enggan untuk datang malam ini karena sama-sama
terpesona oleh keindahan langit malam ini. Dio duduk diteras rumah menghadap
kebun yang tidak cukup luas itu. Yasmin yang dari tadi mengamati Dio,
memberanikan diri duduk di dekat Dio.
“Aku benar-benar ingin
minta maaf. Mungkin hari ini aku sudah terlalu merepotkan kau dan keluargamu.
Aku tahu benra rasanya ditinggal ibu, dalam hal ini kita senasib. Sama-sama
ditinggalkan orang yang kita cintai.” Pandangan Yasmin menerawang jauh lurus
kearah ladang ubi.
Dio menatap Yasmin
lekat kemudian seperti mengikuti arah pikiran Yasmin, dia pun sama-sama
menerawang jauh. Malam ini benar-benar malam yang indah
***
Minggu pagi ini Dio,
sudah membersihkan ladang lebih awal. Hari ini dia mendapatkan 2 ekor tikus
yang masuk perangkap. Hama ini yang membikin hasil ubi mereka turun derastis.
Dibibir pintu rumah terlihat Yasmin menguap, baru terbangung dari tidurnya.
Sudah dari subuh tadi kedua kakaknya pergi meninggalakan rumah untuk membeli
persedian pupuk dan bibit yang sudah mulai menipis.
Dari teras rumah,
Yasmin berteriak kearah Dio “Kenapa dikamar mandi tidak ada air?” dia melihat
Dio berbicara menggunakan bahasa isyarat. “Ah, tunggu sebentar” Yasmin lari
masuk kedalam rumah, tidak lama dia membawa sebuah buku lengkap dengan penanya.
“Aku tidak bisa
mengerti bahasa isyaratmu, jadi kau tulis saja” dia memberikan kertas dan
penanya kearah Dio. Dalam kertasnya tertulis: Kebetulan persediaan air kita habis, jadi kau harus megambilnya
disungai, sungainya tidak terlalu jauh dari sini.
“Ya, Tuhan. Bahkan air
PAM pun belum masuk ke desa ini? Baiklah-baiklah aku akan mengambil air, tapi
bantu aku tunjukan jalan menuju sungai. Dan satu lagi… ajari aku bahasa
isyaratmu.”
***
Sudah hampir seminggu
Yasmin disini, dia sudah mulai terbiasa dengan kehidupan keluarga sederhana
ini. Dia sudah mulai sadar dengan kehidupan yang sebenarnya. Selama ini dia
hidup bergelimangan harta, banyak fasilitas mewah yang dia punya. Tapi semua
tidak dia syukuri.
Disini dia belajar banyak
mengenai kehidupan. Dan dia sekarang sudah yakin dengan pikirannya beberapa
waktu lalu. Bahwa otak dari semua ini adalah ayahnya sendiri. Dia mengerti
ayahnya menginginkan Yasmin berubah. Dan sekarang dia dapat membuktikannya.
Bagaimanapun juga dia
harus berterimakasih banyak kepada Dio da keluarganya. Keluarga ini begitu luar
bisa dan hangat.
Dio dan Yasmin sekarang
sangat dekat. Yasmin sudah mulai mengerti bahasa isyarat, sehingga tidak ada
lagi kertas dan pena untuk media komunikasi meraka. Semuanya akan lebih mudah
apabila kita dapat memahaminya.
Aku Pula yang Tebakar Jua
Aku
enggan menghadap malam
Dingin,
gelap dan sunyi
Kenapa
tiada selamanya siang meraja
Mengapa
juga mesti ada malam?
Aku
enggan pula dingin membuta
Tak usah
nyalakan api lagi
Baiknya
kita padami
Unggunan
api ini
Aku enggan
menjadi merah didepan api
Hanya
membikin muram saja
Kau
tentu tak apa-apa
Aku pula
yang tebakar jua
Pria Malang Miskin Jiwanya
Ini
ruangan yang luas
Tapi
sempit dan hampa
Mengapa
tidak dirasakannya kebahagiaan?
Mengapa
tiada dikecap manisnya hidup?
Padahal
ia punya segala
Tinggal
minta apa yang ia kehendaki
Tinggal
tunjuk apa yang dia idamkan
Tapi
belum terpuaskan juga hasratnya
Pria
malang miskin jiwanya
Ia
menuggu cintanya yang berabad-abad mengendap
Salah
sendiri mengapa tiada mau yang lain
Barangkali
seperti ini cinta sejati
Borobudur
Julang
ajeg ditanah pribumi
Serupa
batu membentuk kisah
Suguhi
mata berjuta relif
Aku
merangkaki dinding batu
Menuju
teratas sang Maha megah
Suguhkan
lukisan alam di puncaknya kala tiba
Tua
sudah usianya kini
Tapi tak
sedikitpun renta menerpa
Tak juga
rapuh
Sekarang
aku berjalan mengitari kepala
Sudah
terlampau sampai pucak
Sudah
teruskan saja kuliti keagunganya
Keangkuhan
Senja
ini
Matahari
digenangi air laut
Kuyup,
tenggelam pergi
Malam
ini
Bulan kembali
menggantung
Mencibir
sentil matahari
Tapi
kala pagi tiba
Matahari
kembali angkuh
Mengambil
kembali alih langitnya
Langganan:
Postingan (Atom)