Kamis, 20 Februari 2014

Warga Miskin

"Ceuk dina undang-undang..."
"Masih keneh mikiran undang-undang, Mang?"
"Ih, tangtu bae kudu dipikiran, Lo. Lantaran tanpa undang-undang mah nagara jeung kahirupan nagara bakal kamana karep."
"Naon cenah ceuk undang-udang teh, Mang?
"Mun teu salah, di antarana warga miskin ditangtayuan ku nagara. Hartina nagara teu menang ngantep atawa ngapilainkeun warga miskin."
"Yaktos."
"Kaasup dina palayanan kasehatan, Lo."
"Enya, Mang. Warga miskin oge boga hak pikeun uubar sarta dirawat di rumah sakit."
"Perkara rumah sakit tea, Lo."
"Jaman baheula mah rea warga miskin anu teu ditarima ku rumah sakit alatan teu boga biaya keur uubar, pangpangna pikeun warga miskin anu kasakitna parna tur kudu di opnameu atawa dioprasi."
"Emh."
"Tapi kadieukeun mah pasen ti warga miskin rada bisa ngarenghap sabada aya sababaraha program nu diancokeun pikeun warga miskin, diantarana mun teu salah mah aya askesgakin, jampersal sarta nu bisa oge ka rumah sakit bari mawa surat katerangan tidah mampuh, SKM tea, Lo. Tur kiwari nu pang anyarna aya BPJS Kasehatan."
"Alhamdulillah."
"Papadaning kitu, ceuk dina warta ti media massa mah masih keneh rea warga miskin ani ditolak ku rumah sakit, pangpangna sabada diterapkeunana BPJS."
"Ambuing."
"Malah cenah di Sumatera mah nepi ka aya pasen msikin anu dipiceun ku pagawe rumah sakit."
"Gusti nepi kakituna."
"Tetela mgamanusakeun warga miskin teh di urang mah hese pisan."
"Padahal cenah urang teh bangsa anu beradab, Mang."
"Lian ti pasualan kasehatan, dina pasualan sejenna oge warga miskin teh remen dikekesek."
"Bener, Mang."
"Di urang mah aya kesan warga miskin teh diperhatikeun ukur dina mangsa pamilu wungkul."
"Eksistensi warga miskin ukur dijadikeun konsumpi pulitik wungkul nya, Mang. kapan kiwari ge saban iklan ti tokoh nu hayang jadi pamingpin mah kabeh midangkeun pasualan kahirupan masarakat miskin."
"Enya. kitu ceuk parasaan warga miskin mah, Lo."
"Lamun maranehna geus jeneng sok tuluy dipopohokeun."
"Bener, Lo. Komo lamun geus waktuna kudu naekkeun BBM mah."
"Matak ulah daek jadi warga miskin, Mang."
"Jih, saha atuh jalama anu hayang miskin. da sarerea ge kahayang mah jadi jalma beunghar.
"Heuheuy."
"Tapi urang pada-pada ngadoa weh, Lo."
"Ngadu'a kumaha, Mang?"
"Muga-muga pamingp[in nu engke kapilih dina pamilu taun ayeuna mah sing gede kanyaahna ka masarakat miskin."
"Amin."

Diambil dari majalah Mangle, Edisi 2463 | 13-19 Februauri 2014. halaman 56

Sabtu, 08 Februari 2014

Short Story: Ajari aku bahasa isyaratmu


Di sebuah desa kecil hiduplah keluarga yang
sederhana yang serba kekurangan. Mereka mempertaruhkan hidupnya dari sebidang tanah yang mereka tanami ubi. Dion, Dodi, Dio serta ayahnya merasa bersyukur karena masih ada orang yang berbaik hati memberikan sebidang tanahnya untuk mereka garap, dan hasilnya lumayan. Ubi yang mereka tanam ternyata meghasilkan ubi yang berkulitas tinggi dan rasanyapun manis-manis. Sehingga hasil menjual ubi bisa menutupi kebutuhan mereka sehari-hari. Dion, Dodi dan Dio selalu kompak dan rukun. Mereka saling menjaga satu sama lain. Adik bungsu mereka, Dio, dia tidak bisa -- oh bukan dia tidak mau bicara sememjak ibunya meninggal. Karena Dio adalah satu-satunya anak sangat dekat dengan ibunya. Ketika ibunya meninggal, Dio sedang berada bersamanya, di kebun ubi mereka. Ibunya meninggal karena serangan jantung. Dio yang waktu itu sedang membersihkan daun-daun ubi yang mongering diladang mereka, melihat ibunya yang sedang meregang nyawa tidak kuasa menahan tangis, ia ingin berteriak dan berlari memangil kakak-kakaknya yang kebetulan sedang pergi menjajakan ubinya ke pasar. Dio terpaku dan hanya bisa memegang dada ibunya dengan tangisan.
                                    ***

"Yasmin!!! Kenapa kau selalu seperti ini, pulang larut malam dan mabuk-mabukan, Ayah  memfasilitasimu bukan untuk ini." Yasmin tidak menghiraukan perkataan ayahnya, dia hanya melambaikan tanganya dan masuk kekamarnya. Kepalanya sangat pusing. Dia langsung merebahkan diri dikasurnya yang empuk. Sementara itu, ayahnya hanya bisa terdiam dan menahan amarah. Dia sudah kehabisan cara untuk mendidik anak sematawayangnya itu. Memang dulu ia terlalu memanjakam Yasmin, jadi akibatnya seperti ini. Ayah Yasmin adalah pemilik perusahaan daging sapi terkenal di Bandung. Yasmin sudah terbiasa dengan kehidupan mewahnya. Sekarang ayahnya sangat menyesal karena terlalu memanjakan dia. Ayahnya ingin sekali melihat putrinya menjadi seorang gadis dewasa tanpa harus berpora-pora. Ayahnya berpikir untuk mengirimnya ke suatu tempat yang jauh dari kota, untuk membiasakannya jauh dari segala kemewahan dan gemerlapnya kota besar.
Pada suatu malam, ketika Yasmin sedang terlelap tidur, ayahnya membawanya kesuatu desa yagg belum pernah dia kunjungi sebelumnya. Yasmin tidak pernah tahu bahwa dirinya akan d buang untuk sementara waktu agar dirinya mengerti tentang kehidupan sesungguhnya.

                                        ***

Hari ini begitu cerah. Dodi dan Dio pergi sekolah bersama-sama menggunakan sepeda, tapi sepedanya hanya ada 1, sehingga Dodi harus rela memboncengi adiknya, Dio, karena sekolahnya cukup jauh dari rumahnya. Sebelum pergi sekolah Dio biasanya selalu memeriksa kebun ubinya dulu. Karena belakangan ini banyak sekali tikus perusak tanaman yang membuat hasil kebun mereka berkurang banyak, Dio memasang jebakan tikus di kebun untuk mengurangi kerugian tersebut. Ketika sedang berjalan Dio tersandung sesuatu hingga terjatuh, ia meringis dan membersihkan baju seragamnya yang kotor. Dio pun tersentak tanpa berteriak hanya nafasnya tidak bisa dia atur. Dia sangat terkejut, ternyata yang membuat dia tersandung adalah sepasang kaki manusia. Dengan waspada Dio mendekati orang tersebut. Orang itu adalah seorang gadis yang sedang terlelap sambil memeluk gulingnya. Dio sangat penasaran mengapa gadis ini bisa tidur dikebunya. Perlahan lahan dia mendekatkan diri dan jongkok disamping gadis tersebut untuk memastikan apa dia masih hidup atau sudah meninggal. Dirasakanya nafas yang keluar dari hidung sang gadis yang menghembus telunjuk Dio. Dio menghela nafas lega. Ternyata gadis yang berada dihadapanya tersebut masih hidup. Tanpa ragu-ragu Dio mengguncang-guncang tubuh gadis itu agar ia terjaga dari tidurnya.
"Em..?" gadis itu pelan-pelan membuka matanya yang lengket. Ketika matanya terbuka seutuhnya ia pun terkejut. "AAAHH...SIAPA KAU?" Dio yang tadinya jongkok langsung berdiri dan kaget. Sama kagetnya dengan sang gadis. Gadis itu melihat sekelilingnya "Em.. Siapa kau? Dimana aku? Apa yang kau lakukan padaku, hah?" tanya sang gadis bertubi-tubi. Dia masih sangat kebingungan. Dio tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan pergi. "Hei...jawab aku! Kau mau kemana?" Dio tidak menghiraukan perkataan gadis tersebut.

                                       ***
Gadis itu masih saja mengikuti Dio dari belakang, dengan gulingnya yang dia dekap didadanya. Dia berusaha mensejajarkan langkahya dengan Dio. Berkali-kali dipanggilnya Dio. “Hei, aku mohon jawablah aku sekali saja, kenapa aku bisa disini? sebenarnya ini dimana? kumohon.. jawablah aku.. HEI!” Yasmin mulai kesal. Tiba-tiba Dio menghentikan langkahnya. Dan membalikan badannya kebelakang, tepat dihadapan gadis itu. Yasminpun terkejut dengan gerakan yang tiba-tiba dari Dio. Tapi kemudian tidak ada yang Dio dilakukan, dia haya mematung dengan wajah yang datar. Semenit kemudian dia memutarkan badanya lagi dan kembali berjalan.
Melihat kelakukan Dio yang seperti itu, Yasminpun mengernyitkan dahi “Dasar orang aneh, apa-apan sikapnya itu, sok misterius.” Gumamnya dalam hati. Sedikit agak berlari dia mengejar langkah Dio yang mulai agak menjauh. Ditepunknya bahu Dio sehingga dia berhenti. “Kalau kau masih tidak bicara. Berikan aku handphonemu, aku mau pinjam untuk menghubungi ayahku.” Kata gadis itu sambil menengadahkan tangan kearah Dio. Tapi kemudian Dio menggeleng. “Apa maksudmu dengan menggeleng? Kau tidak punya handphone? Astga, di zaman serba modern seperti ini kau tidak memiliki handphone? Kau bener-benar aneh.”
Tanpa mengacuhkan ucapan gadis itu dia mengisyaratkan “ikut aku” dengan gesture tubuhnya. “Kau ini benar-benra bisu? Ya Tuhan.”
Dio tetap tidak bergeming, dia melangkahkan kakinya kearah toko kelenteng. Setelah berbicara dengan pemilik toko, tentunya dengan bahasa isyarat, dia keluar dan menghampiri Yasmin. Pemilik toko kelenteng ini adalah satu-satunya orang yang memiliki telepon di desa ini. Pemilik toko ini sangant kenal baik dengan Dio. Sehingga Dio diperbolehkan untuk meminjamkannya kepada Yasmin. Dio mengeluarkan secerik kertas dan menuliskan sesuatu diatasnya. Setelah selesai diberiya kertas tersebut kepada Yasmin untuk dibacanya, yang isisnya.
Kau bisa panggila aku Dio, di dalam ada telepon rumah, kau bisa memakainya untuk menghubungi keluargamu. Maaf aku tidak bisa membantu lebih. Sudah waktunya aku pergi sekolah. Aku harap urusananmu bisa segera selesai. Aku pergi.
Tanpa menunggu lagi Dio langsung pergi, meninggalkan Yasmin yang masih membaca. Setelah beberapa langkah, terdengar teriakann Yasmin dari jauh “Terima kasih, Dio.” Teriaknya membuat Dio membalikan badan dan tersenyum kepada Yasmin sebagai ungkapan “tidak usah sungkan.”
Dalam hati Yasmin dia merasa sedikit bersalah kepada Dio, karena telah beberapa kali menghardiknya. Setelah Dio mengilang dari pandangannya, barulah dia memasuki toko tersebut, siempunya rumah sudah mempersilahkan Yasmin untuk menggunakan teleponya.
Setelah dicoba beberapa kali, teleponnya masih belum tersambung. Dicobanya kembali menekan angka-angka memastikan nomor yang ia tekan tidak salah. Tapi tetap saja tidak tesambung. Yasmin sudah mulai putus asa.
Akhirnya dia menyerah, teleponnya masih tidak tersambung. Setelah berterimakasih kepada sang pemilik toko dia duduk bertopang dagu masih dengan guling di tangan.
Beberapa kali dia memikirkan, bagaimana bisa dia sampai ditempat ini, dia tidak mungkin lupa jalan pulang waktu dia mabuk kemarin malam. Apakah mungkin ayahnya sendiri yang melakukan ini? Pikiran itu terus memenuhi kepala Yasmin. Dia tidak bisa melakukan apaun disini. tidak ada seorangpun yang dia kenal. Tapi tunggu, dia kenal sesorang disini. Ya, Dio. Mungkin saja Dio bisa membantunya keluar dari desa ini.
***
Ini sudah waktunya Dio pulang sekolah. Dodi yang dari tadi pagi  mencari-cari Dio akhirnya bisa menemukannya juga. Dodi meghampiri Dio yang dari tadi duduk terdiam didekat gerbang sekolahnya. “Dio, kemana saja kau dari tadi, aku mencarimu” kata kakaknya khawatir. Dio hanya tertunduk lalu mengajak kakanya untuk pulang.
Di sepanjang perjalanan pulang, tidak tahu kenapa dia terus memikirkan gadis yang ditemuinya tadi pagi. Dia baru sadar bahwa Dio belum tahu nama gadis tadi.
“Lihat gadis itu Dio, lucu sekali dia. Jam segini masih memegang guling, seperti anak manja saja.” Perkataan Dodi membuat Dio langsung mencari orang yang dimasud. Dio meminta kakanya untuk menghentikan laju sepedanya.
“Kenapa Dio? Apa kau menegnal gadis itu?”
“Iya, tadi pagi aku menemukannya tengah tertidur di ladang ubi kita, dan aku yang membawanya ke toko ini. Maksudku agar dia dapat meghubungi orangtuanya. Tapi ternyata dia masih disini.” kata dia menggunakan bahasa isyarat kepada kakaknya.
“mungkin saja dia sedang menunggu orang tuanya disisni. Bagaimana kalau kita hampiri dia saja, siapa tau dia masih memerlukan bantuan kita.
Kedua kakak beradik ini mengarahkan laju sepeda mereka kearah dimana gadis itu terduduk. Gadis itu tidak meyadari akan kedatangan Dodi da Dio.
“Hei, nona apa yang…” belum selesai pertanyaan Dodi tiba-tiba saja terpotong oleh tangisan Yasmin yang meraung raung, makin lama makin kencang saja tangisnya.
***
Setelah tenang, yasmin menceritakan kebingungnanya tentang bagaimana dia mencapai tempat ini kepada Dion, Dodi dan Dio di rumah mereka yang kecil. Ternyata tempat ini sangat jauh dari Bandung, tempat Yasmin tinggal. Desa ini sangat terpencil, jarang sekali kendaraan kota masuk desa ini. Sesekali ada mobil bak yang datang kesini, itupun hanya datang seminggu sekali untuk mengantarkan hasil bumi dari desa ini ke kota. Setelah berbincang-bincang akhirnya mereka memutuskan untuk mengizinkan Yasmin bermalam di rumah mereka. Selama ayahnya belum pulang dari kota.
“Untuk sementara kau bisa gunakan kamarku dulu untuk tidur, biar aku tidur di kursi saja” kata Dion berbaik hati.
“Terima kasih banyak, tapi aku tidak bisa tidur ditempat seperti ini” dia menunjuk kerah kasur yang sudah usang dan tipis. Alasnya sudah hilang warna aslinya, maklum setelah ibunya meninggal tidak ada lagi yang rajin mengganti alas kasur.
“maaf, kami hanya mempunyai ini saja. Tidak ada kasur lain selain kasur ini. Jadi kami harap kau bisa maklum.”
“Baiklah aku usahakan, tapi bagaimana dengan bajuku? Sudah seharian aku memakai baju ini, aku tidak tahan pakai baju kotor lama-lama. Apakah disekitar sini ada toko baju? Pinjami aku uang, aku pasti akan menggatinya”
Dio yang terdiam dari tadi merasa kesal, dengan bahasa isyaratnya dia berkata. “disini bukan dikota nona, tidak ada mall disini. Kalau kau mau, pakai saja baju peninggalan mendiang ibu kami. Mungkin ukurannya tidak begitu besar.”
“Apa yang dia katakana?” Tanya Yasmin tidak mengerti. Kemudian Dion menjelaskannya. Setelah dibawakan beberapa helai baju ibu mereka, Yasmin disuruh menjoba baju-baju itu. Ternyata bajunya pas juga dengan badan Yasmin. Melihat Yasmin mengenkan baju ibunya, Dio teringat kembali akan ibunya. Dia sudah akan menagis, tapi cepat-cepat dia hapus air mata yang mengenangi sudat matanya dan pergi keluar.
Malam ini langit di penuhi bintang, sepertinya hujan enggan untuk datang malam ini karena sama-sama terpesona oleh keindahan langit malam ini. Dio duduk diteras rumah menghadap kebun yang tidak cukup luas itu. Yasmin yang dari tadi mengamati Dio, memberanikan diri duduk di dekat Dio.
“Aku benar-benar ingin minta maaf. Mungkin hari ini aku sudah terlalu merepotkan kau dan keluargamu. Aku tahu benra rasanya ditinggal ibu, dalam hal ini kita senasib. Sama-sama ditinggalkan orang yang kita cintai.” Pandangan Yasmin menerawang jauh lurus kearah ladang ubi.
Dio menatap Yasmin lekat kemudian seperti mengikuti arah pikiran Yasmin, dia pun sama-sama menerawang jauh. Malam ini benar-benar malam yang indah
***
Minggu pagi ini Dio, sudah membersihkan ladang lebih awal. Hari ini dia mendapatkan 2 ekor tikus yang masuk perangkap. Hama ini yang membikin hasil ubi mereka turun derastis. Dibibir pintu rumah terlihat Yasmin menguap, baru terbangung dari tidurnya. Sudah dari subuh tadi kedua kakaknya pergi meninggalakan rumah untuk membeli persedian pupuk dan bibit yang sudah mulai menipis.
Dari teras rumah, Yasmin berteriak kearah Dio “Kenapa dikamar mandi tidak ada air?” dia melihat Dio berbicara menggunakan bahasa isyarat. “Ah, tunggu sebentar” Yasmin lari masuk kedalam rumah, tidak lama dia membawa sebuah buku lengkap dengan penanya.
“Aku tidak bisa mengerti bahasa isyaratmu, jadi kau tulis saja” dia memberikan kertas dan penanya kearah Dio. Dalam kertasnya tertulis: Kebetulan persediaan air kita habis, jadi kau harus megambilnya disungai, sungainya tidak terlalu jauh dari sini.
“Ya, Tuhan. Bahkan air PAM pun belum masuk ke desa ini? Baiklah-baiklah aku akan mengambil air, tapi bantu aku tunjukan jalan menuju sungai. Dan satu lagi… ajari aku bahasa isyaratmu.”
***
Sudah hampir seminggu Yasmin disini, dia sudah mulai terbiasa dengan kehidupan keluarga sederhana ini. Dia sudah mulai sadar dengan kehidupan yang sebenarnya. Selama ini dia hidup bergelimangan harta, banyak fasilitas mewah yang dia punya. Tapi semua tidak dia syukuri.
Disini dia belajar banyak mengenai kehidupan. Dan dia sekarang sudah yakin dengan pikirannya beberapa waktu lalu. Bahwa otak dari semua ini adalah ayahnya sendiri. Dia mengerti ayahnya menginginkan Yasmin berubah. Dan sekarang dia dapat membuktikannya.
Bagaimanapun juga dia harus berterimakasih banyak kepada Dio da keluarganya. Keluarga ini begitu luar bisa dan hangat.

Dio dan Yasmin sekarang sangat dekat. Yasmin sudah mulai mengerti bahasa isyarat, sehingga tidak ada lagi kertas dan pena untuk media komunikasi meraka. Semuanya akan lebih mudah apabila kita dapat memahaminya. 

Aku Pula yang Tebakar Jua




Aku enggan menghadap malam
Dingin, gelap dan sunyi
Kenapa tiada selamanya siang meraja
Mengapa juga mesti ada malam?

Aku enggan pula dingin membuta
Tak usah nyalakan api lagi
Baiknya kita padami
Unggunan api ini

Aku enggan menjadi merah didepan api
Hanya membikin muram saja
Kau tentu tak apa-apa
Aku pula yang tebakar jua

Pria Malang Miskin Jiwanya




Ini ruangan yang luas
Tapi sempit dan hampa
Mengapa tidak dirasakannya kebahagiaan?
Mengapa tiada dikecap manisnya hidup?

Padahal ia punya segala
Tinggal minta apa yang ia kehendaki
Tinggal tunjuk apa yang dia idamkan
Tapi belum terpuaskan juga hasratnya

Pria malang miskin jiwanya
Ia menuggu cintanya yang berabad-abad mengendap
Salah sendiri mengapa tiada mau yang lain
Barangkali seperti ini cinta sejati

Borobudur




Julang ajeg ditanah pribumi
Serupa batu membentuk kisah
Suguhi mata berjuta relif

Aku merangkaki dinding  batu
Menuju teratas sang Maha megah
Suguhkan lukisan alam di puncaknya kala tiba

Tua sudah usianya kini
Tapi tak sedikitpun renta menerpa
Tak juga rapuh

Sekarang aku berjalan mengitari kepala
Sudah terlampau sampai pucak
Sudah teruskan saja kuliti keagunganya

Keangkuhan




Senja ini
Matahari digenangi air laut
Kuyup, tenggelam pergi

Malam ini
Bulan kembali menggantung
Mencibir sentil matahari

Tapi kala pagi tiba
Matahari kembali angkuh
Mengambil kembali alih langitnya